Senin, 05 Juli 2010

Pemekaran Wilayah di Papua

Salah satu fenomena yang kontroversial di era desentralisasi belakangan ini adalah pemekaran daerah atau pembentukan daerah otonom baru, khususnya pada tingkat kabupaten/kota. Sampai awal tahun 2007, jumlah kabupaten/kota di Indonesia telah lebih dari 450 dan sebagian besar penambahan kabupaten/kota yang baru tersebut terjadi di luar Jawa. kelompok Pulau Maluku/Papua adalah wilayah yang mengalami tingkat penambahan kabupaten/kota paling tinggi dibandingkan wilayah lainnya. Secara keseluruhan, penambahan kabupaten/kota di Indonesia dari 1996 ke 2007 sekitar 54 persen, sedangkan di kelompok Maluku/Papua mencapai 150 persen yang sebagian besar adalah karena adanya pemekaran daerah yang demikian pesat di Papua. Sampai awal tahun 2008, jumlah daerah kabupaten/kota di Papua telah mencapai 36, terdiri dari sembilan di Propinsi Papua Barat dan 27 di Propinsi Papua. Padahal, pada tahun 1996 di Papua hanya ada 13 daerah/kota. Bahkan, ada kabupaten hasil pemekaran yang pecah lagi menjadi kabupaten baru, yakni Puncak Jaya (dibentuk tahun 1999) dimekarkan lagi menjadi satu kabupaten baru, Puncak (2008). Walau pun, secara umum, pemekaran daerah di Indonesia masih meninggalkan banyak masalah seperti dalam hal pelayanan publik, kinerja daerah hasil pemekaran, ataupun dampaknya pada ketimpangan antar daerah. Namun demikian, apa yang terjadi di wilayah Papua dapat dikatakan memiliki daya tarik tersendiri. Setidaknya ada empat alasan berkaitan dengan hal tersebut. Pertama, dari segi luas wilayah, kalkulasi serampangan bias mendorong pemekaran daerah terus melaju di wilayah tersebut. Kedua, dari dalm Papua sendiri, pemekaran tidaklah disambut dengan suara yang senada, terutama berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat yang tidak kunjung membaik. Ketiga, dari segi geopolitik, wilayah Papua strategis bagi Indonesia sehingga pemekaran di wilayah ini pun dikaitkan dengan kepentingan strategis tersebut. Hedman (2007) bahkan menyebut Papua sebagai tepian akhir bagi demokratisasi, demiliterisasi dan desentralisasi di Indonesia. Keempat, terdapat informasi bahwa pemekaran di Papua tidak lepas dari kepentingan perusahaan besar untuk mengeksploitasi kekayaan alam yang ada. Artinya, secara garis besar, ada kepentingan elite di satu sisi, baik ekonomi maupun politik, pusat maupun daerah, dan kesejahteraan masyarakat Papua di sisi lain. Berdasarkan latar belakang demikian, artikel ini mencoba melihat isu pemekarandaerah di wilayah Papua, dengan menekankan pada kepentingan elite dan kesejahteraan masyarakat Papua.
Kondisi kesejahteraan masyarakat yang buruk tersebut, setidaknya dari indikator IPM, menimbulkan keraguan akan manfaat pemekaran bagi masyarakat. Pemekaran bukannya memperbaiki kesejahteraan namun justru malah memperburuk keadaan.Harga-harga barang juga bahan baker tetap saja mahal karena tidak ada jalan yang menghubungkan satu daerah dengan yang lain sehingga harus diangkut dengan pesawat. Sedangkan anggaran daerah sebagian besar hanya dialokasikan untuk membangun kantor-kantor baru. Pada gilirannya, tidak aneh jika timbul penolakan atas pemekaran yang terjadi. Hal ini sekaligus menyiratkan bahwa pemekaran daerah pada dasarnya bukanlah demi menyejahterakan masyarakat, tetapi untuk kepentingan-kepentingan yang lain.
Pandangan dari warga asli Papua seperti ini menegaskan kepentingan NKRI ada dalam pemekaran, begitu juga kepentingan elit lokal, sementara masyarakat Papua dibodohi belaka. Tentu sulit membayangkan, apa yang akan dilakukan oleh kepala suku dengan mobil yang diperolehnya. Kondisi semacam ini ikut menjelaskan mengapa kesejahteraan masyarakat dan pembangunan manusia di Papua tidak kunjung membaik walaupun banyak dana yang dialokasikan ke sana. Desentralisasi dan Otsus memang membuka peluang terjadinya praktik-praktik pemburuan rente ekonomi-politik.
kesimpulan bahwa pemekaran di wilayah Papua tidaklah membawa perbaikan bagi kesejahteraan masyarakat Papua, seperti terlihat dari indikator pembangunan manusia. Kesejahteraan manusia Papua rupanya hanya di bawah kepentingan kelompok lain, baik dari pusat sampai lokal, dari militer/polisi sampai dunia bisnis. Oleh karena perkembangan yang terjadi tidaklah membuat kehidupan manusia Papua benar-benar menjadi lebih baik, maka bisa dimengerti bahwa penolakan demi penolakan masih mengalir terhadap pemekaran yang ada dan yang diusulkan. Kesimpulan di atas perlu disertai dengan catatan bahwa tulisan ini disusun berdasarkan data dan informasi yang masih relatif terbatas. Penggalian informasi lebih lanjut kiranya akan memberikan kesimpulan yang lebih memadai. Salah satu isu yang menarik untuk digali lebih jauh adalah bagaimana korporasi bisnis juga bermain dalam proses pemekaran di Papua. Kalau di Banten propinsi baru dari Jawa Barat saja terjadi persengkongkolan dan tawar-menawar kepentingan di antara local-state actors dan societal actors, 24 maka di Papua hal ini menjadi lebih mungkin karena sumber-sumber ekonomi yang dapat dieksploitasi jauh lebih besar nilainya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar